KAI-INKA Akan Merger

Sulsel, PaFI Indonesia — Menteri BUMN Erick Thohir akan memerger INKA dan PT Industri Kereta Api (INKA) dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Merger dilakukan supaya ke depan kinerja mereka lebih bagus dan lincah. Erick mengatakan proses penggabungan kedua BUMN tersebut sudah dilakukan sejak 4 tahun terakhir.

“Kita lagi menggodok (penggabungan), kan masih ada timetable-nya,” katanya di Kantor Kementerian BUMN, Selasa (17/12) ini.

Erick menambahkan ketika proses merger di Kementerian BUMN sudah matang, pihaknya akan langsung ke Kemenkeu untuk meminta persetujuan mereka.

“Karena kan pengelola kami kepemilikan dari Menteri Keuangan,”katanya.

Erick mengatakan selain INKA dan PT KAI, merger juga akan dilakukan pada BUMN lain. Salah satunya, Pelni dan ASDP.

Dua BUMN tersebut rencananya akan digabung menjadi satu dengan Pelindo. Penggabungan dilakukan demi mendorong penurunan biaya logistik.

Tak hanya itu. Penggabungan juga dilakukan demi meningkatkan keamanan dan kenyamanan penumpang.

“Itu untuk mendorong kembali bagaimana logistic cost bisa lebih turun, safety buat penumpang, kalau pelabuhannya bagus, management dari Pelni, kapalnya juga lebih mudah, ASDP-nya juga lebih bagus,” katanya.

Perlu Sinergi

Pada saat ini sinergi BUMN yang serumpun memang sangat dibutuhkan. Untuk mewujudkan sinergi tersebut problem struktural yang terjadi di kedua BUMN itu harus diatasi terlebih dahulu. Sehingga tidak ada pihak yang menanggung resiko fatal seperti harga beli rangkaian kereta yang kelewat mahal dan teknik perawatan yang kurang kompatibel dengan depo dan balai yasa milik KAI. Profil industri INKA dengan fokus usaha memproduksi lokomotif, gerbong dan pemeliharaan kereta api sudah waktunya dikelola lebih efisien dan kompetitif.

Disergi industri yang pernah terjadi antara PT KAI-INKA tidak hanya dalam hal pembelian gerbong kelas eksekutif saja, tetapi juga telah merambah kepada pengadaan KRL dan infrastruktur yang lain. KAI beranggapan bahwa pengadaan KRL bekas dari luar negeri jauh lebih murah dan feasible, baik secara teknis maupun model pembiayaannya. Wajar kalau KAI berusaha mencari model-model pembiayaan yang meringankan. Apalagi kalau KRL bekas dari luar negeri tersebut bersifat hibah, sehingga PT KAI hanya mengeluarkan biaya angkutannya saja. Tidak terpakainya produk KRL buatan INKA dimasa lalu karena masalah survival KAI untuk mengatasi ledakan penumpang KRD dan KRL.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com